Menurut catatan yang terukir di nisan yang terbuat dari kayu pada Makam Habib Husain bin Ahmad Baragbah, diketahui bahwa ia wafat tahun 1173 H, dan dimakamkan di Keramat Tambak, Kecamatan Pelayangan, seberang Kota Jambi. Berdasarkan catatan tahun tersebut maka Habib Husain Baragbah itu hidup di Jambi pada masa pemerintahan Sulthan Abdul Khahar (1615-1665 M) dan puteranya Abdul Muhyi gelar Sulthan Sri Angologo (1665-1690).
Habib Husain Bin Ahmad mempunyai empat orang isteri, di antaranya ialah Nyai Resih binti Sintai yang dikawinkan kepadanya oleh Sulthan Sri Angologo. Dari perkawinan beliau dikaruniakan keturunan dan salah seorang bernama Abdurrahman Bin Husin Ahmad. Catatan keluarganya yang masih ada sekarang tidak menjelaskan isteri keberapakah Nyai Resih itu. Kalau perkawinan itu terjadi pada masa Kesultanan Sulthan Sri Angologo, hal itu tentunya setelah tahun 1665 M. Tetapi kedatangan Habib Husain Baragbah itu ke Jambi pada tahun 1034 H atau 1088 H yakni kira-kira tahun 1668 M atau 1615 M.
Setelah perkawinan Habib Husain bin Ahmad Baragbah dengan puteri Sintai yang bernama Resih itu, percampuran darah antara kedua suku ini tentunya semakin banyak pula terjadi. Meskipun demikian sesuai dengan kebiasaan orang-orang Arab keturunan, baik dari kalangan Masyayikh seperti keluarga Bafadhal, bin Atiq, Joban, bin Thalib, terlebih dari kalangan Sayyid atau Sadah al-Ba’alawi (Alawiyyin) al-Huseini, seperti Baragbah, al-Habsyi, al-Kaff, bin Syihab, al-Jufri, Assagaf, al-Bayti, al-Hinduwan, al-Mahdhor, al-Munawwar, bahwa kaum laki-laki mereka boleh mempersunting wanita di luar kalangan mereka, wanita dari kalangan Masyayikh dan dari bumi putera, namun untuk para wanita mereka atau yang dikenal dengan sebutan Syarifah (Syaraif) tidak boleh dipinang oleh selain Sadah.
Empat tahun setelah berada di Jambi sebelum menikah dengan Nyai Resih Binti Sintai, Habib Husin Bin Ahmad Baragbah sempat kembali ke Hadramaut dan kemudian beliau kembali ke Jambi membawa beberapa ulama dari sana diantaranya: Syekh Muhammad Shoufi bin Abdullah Bafadhal dan Said Alwi al-Baiti.
Sebenarnya ada banyak tokoh guru yang mengajar dan ikut menyebarkan Islam di Jambi. Diantara tokoh guru tersebut adalah :
- Sayyid Husin Bin Ahmad Baragbah (1626M).
- Syekh Muhammad Shoufi bin Abdullah Bafadhal (1635 M)
- Sayyid Alwi al-Baiti (1637 M)
- H.Ishak bin H.Karim Mufti Jambi (1700).
- Kemas H. Muhammad Zen bin Kemas H. Abd. Rauf al-Jambi Asy-Syafi’i al-Naksabandi (1815).
- Pangeran Penghulu Noto Agomo Kampung Magatsari (1852).
- Al-Qodi Abd. Gani bin H. Abd. Wahid ( 1888).
- K.H. Abd. Majid Bin H. M. Yusuf Keramat (1893).
Para tokoh guru tersebut menyelenggarakan pendidikan agama dan ceramah-ceramah agama dengan pemikiran agar tertanam kesadaran beragama. Kemudian timbullah pemikiran untuk mendidik anak-anak menuntut ilmu agama Islam, terutama anak pejabat Kerajaan kesultanan Jambi dan golongan di pemerintahan dengan maksud agar pejabat kerjaan nantinya akan menjadi pendidik dan sebagai penyiar agama Islam. Dengan demikian pemikiran mereka agar masyarakat mempunyai kesadaran beragama (Islam) dan mempersiapkan kader penyiar agama Islam yang menuntut mereka mempunyai kesadaran beragama (Islam) dan mempersiapkan kader penyiar agama Islam yang menurut mereka sangat diperlukan dalam menghadapi ancaman pengaruh kebudayaan maupun kekuasaan asing di daerah Jambi. Dengan adanya pemikiran ini dan pelaksanaannya dilakukan dengan baik di daerah Jambi timbul semangat keagamaan yang kuat dan dalam proses perjuangan menantang Belanda atas daerah Jambi dimungkinkan dan dapat terlaksana pada awal abad ke duapuluh.
Di samping penduduk Pacinan yang ada di Jambi, terdapat juga banyak silsilah keturunan yang tidak menyebut nama Baragbah atau Sintai, seperti Hasan bin Abul Qadir bin Ibrahim bin Abd. Majid bin Yusuf bin Abid bin Bagindo Bujang. Dilihat dari jenjang keturunan ini, berkemungkinan Bagindo bujang itu hidup dalam waktu yang sama dengan Habib Husain Baragbah atau putera-puteranya. Sumber keterangan ini tidak dapat memberikan penjelasan asal-usul Bagindo Bujang itu. Dilihat dari segi bahasa besar kemungkinan ia berasal dari Minangkabau atau suku Melayu. Mungkin juga, disamping nama panggilan Bagindo Bujang ini, ia juga mempunyai nama kecil yang oleh anak cucunya tidak disebut sehingga akhirnya tidak dikenal lagi sekarang. Namun yang penting diingat adalah semua nama-nama tersebut sudah memakai nama-nama Islam. Bagindo Bujang ini agaknya adalah orang pendatang yang lalu
kawin pula dengan perempuan dari keturunan Sintai tadi tetapi anak keturunannya semuanya memakai nama Islam.
Di Sembilan Koto (sekitar pulau Temiang) terdapat silsilah keturunan yang sampai ke zaman yang sama atau berdekatan sekali dengan masa hidup Husin Bin Ahmad Baragbah di Jambi yaitu: Tabrani Kasma bin Kasim bin Ma’syik bin Hakim Bidar bin Datuk Bayah Juo bin Nenek Keramat Qur’an.
Suatu hal yang menarik dalam hal ini Nenek Keramat al-Qur’an itu menurut cerita cucu-cucunya berasal dari Minangkabau tetapi datang kesana dari semenanjung Malaka. Mungkin juga ia seorang Minang yang sebelum datang ke Sembilan Koto bermukim atau menuntut ilmu di semananjung Malaka. Dilihat dari jumlah jenjang keturunan di atas tadi, kedatangannya ke daerah Jambi jauh setelah kejatuhan Kerajaan Malaka (1511 M).
Berdasarkan tinjauan di atas, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa Islam sudah masuk ke Jambi jauh sebelum kedatangan Habib Husain Baragbah awal abad ke 17 M. Tetapi dengan kedatangan beliau yang kemudian disusul oleh keluarga Arab Hadhrami yang lain seperti Muhammad Shaufi Bafadhal, al-Habsyi, Alwi al-Baiti dan lain-lain, Sejarah Islam di kesultanan Jambi mengalami perkembangan pesat. Rakyat pada umumnya memakai nama Islam (arab) dan ada pula yang naik haji serta menuntut ilmu ke Mekkah. Lebih menonjol lagi kesultanan Jambi menunjukkan sikap konfrontatif terhadap kompeni Belanda, disamping memperhatikan pelaksanaan Syari’at Islam di kalangan penduduk.
sumber :
- www.jambiprov.go.id
- Kebudayaan Melayu Jambi|Facebook
- source
1 komentar:
Mantap gan
lengkap, bisa menambah pengetahuan
Posting Komentar