Visi keluarga kita:
Tidak ada satu pun anggota keluarga tersentuh api neraka وَ قِــنَا عَذَابَ الــنَّارِ
Misi keluarga kita:
- Mencapai derajat takwa yang sebenarnya
- Memperoleh hidup mulia atau mati syahid
Strategi untuk mencapai visi dan misi keluarga kita:
- Setiap anggota keluarga mengikuti tarbiyah (pendidikan) dalam bentuk tilawah Al-Qur’an, ada proses tazkiyah (pembersihan diri), dan taklim.
- Setiap anggota keluarga menjalankan ibadah sampai derajat ihsan.
- Setiap anggota keluarga berdakwah dan berjihad fii sabilillah.
- Ada anggota keluarga yang menjadi pemimpin masyarakat (istikhlafu fiil ardhi).
Arah kebijakan keluarga kita:
- Semua anggota keluarga kita harus tertarbiyah.
- Setiap anggota keluarga harus memiliki jadwal ibadah unggulan pribadi, baik secara ritual maupun sosial.
- Secara jama’i (bersama-sama), keluarga harus punya jadwal ibadah unggulan, baik ritual maupun sosial.
- Harus memiliki agenda dakwah di dalam keluarga.
- Harus memiliki agenda dakwah di untuk masyarakat sekitar.
- Menghadirkan suasana keluarga yang mendukung tercapainya visi dan misi keluarga.
- Mendidik setiap anggota keluarga untuk mencapai kualitas keluarga sebagai pemimpin umat.
- Menyediakan sarana dan prasarana pendukung tercapainya visi dan misi keluarga.
================
Islam adalah sistem hidup yang sempurna yang memuat berbagai petunjuk dan aturan untuk membimbing dan mengarahkan manusia mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Islam datang sebagai rahmat dan kasih sayang Allah SWT untuk semesta alam termasuk manusia di dalamnya. Diuturunkannya Al-Qur’an Al-Karim dan diutusnya Muhammad SAW sebagai Rasulullah adalah untuk menjelaskan kepada seluruh umat manusia bagaimana seharusnya kehidupan ini dijalankan dan bagaimana setiap aktivitas serta interaksi yang dilakukan dapat melahirkan kebaikan pribadi maupun kolektif serta mendatangkan ridho Allah SWT.
Realitas saat ini menunjukkan banyaknya kaum muslimin yang menjadikan Islam hanya sebagai status keagamaan dan tidak memfungsikannya sebagai sistem nilai yang membentuk cara pandang, kehendak dan perilaku. Dampak yang muncul adalah hilangnya peradaban dan nilai-nilai Islam di tengah-tengah umat yang secara kuantitas jumlahnya mayoritas. Hilangnya komitmen dan keterikatan umat terhadap syariat Allah SWT sesungguhnya berawal dari rusaknya sistem nilai yang ada di dalam keluarga. Keluarga sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat yang merupakan pabrik pencetak generasi tidak lagi memainkan peran dan fungsinya dengan benar. Kalau hari ini kita mendapati banyak pemimpin yang zalim dan tidak amanah, pedagang yang tidak jujur, pendidik yang berakhlak buruk, pemuda yang menyimpang, kaum wanita yang mengumbar aurat, serta berbagai bentuk penyimpangan dalam aqidah dan ibadah, itu merupakan buah yang diperoleh karena telah hilangnya nilai-nilai Islam dalam banyak keluarga muslim. Rasulullah SAW bersabda dalam salah satu hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a.: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang membentuk dia menjadi Yahudi, Nashrani atau majusi” (HR. Bukhari)
Hadits tersebut di atas dengan gamblang menjelaskan bahwa peran keluarga sangat besar dalam menanamkan nilai-nilai pada anggotanya. Keluargalah lingkungan pertama yang akan membentuk watak seseorang. Bahkan dengan tegas al-Qur’anul Karim mengingatkan setiap pemimpin di dalam keluarga untuk menjaga diri mereka dan keluarganya dari siksa api neraka. Allah berfirman: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa ang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. 66:6)
Berkaitan dengan ayat yang berbunyi “Peliharalah diri dan keluargamu dari api neraka” berkata Mujahid: “Bertakwalah kepada Allah dan berilah nasihat kepada keluargamu untuk bertakwa kepada Allah”. Berkata Qotadah:”Perintahkanlah keluargamu untuk menta’ati Allah SWT dan cegahlah mereka dari berbuat kemaksyiatan dan hendaklah engkau mendidik mereka dengan perintah Allah serta menyuruh dan membantu mereka untuk melaksanakannya. Jika kamu melihat mereka melakukan kemaksyiatan maka tahan dan cegahlah”. Berkata Ad-Dhohak dan Muqotil menjelaskan ayat yang sama:”Kewajiban atas setiap muslim adalah mendidik keluarganya dengan apa-apa yang diwajibkan oleh Allah SWT kepada mereka dan apa-apa yang dilarang Allah SWT atas mereka”.
Besarnya ihtimam (perhatian) Islam terhadap kehidupan keluarga menunjukkan pentingnya posisi dan peran keluarga. Islam menghendaki nilai-nilai Islam dapat ditegakkan dalam seluruh aspek kehidupan termasuk dalam kehidupan keluarga. Setiap muslim yang hendak membentuk sebuah rumah tangga hendaknya memahami dengan benar tujuan sesungguhnya untuk apa keluarga dibentuk. Ia juga harus mengetahui bagaimana proses pembentukan keluarga dilakukan, termasuk bagaimana memilih pasangan hidup yang akan menemaninya mengarungi kehidupan berkeluarga.
Keluarga muslim
Lalu apa yang dimaksud dengan keluarga muslim? Syaikh Shaleh bin Fauzan al-Fauzan merinci definisi keluarga muslim sebagai keluarga yang mengetahui hak-hak Allah SWT dan menunaikannya, mengetahui hak-hak masing-masing suami istri dan memenuhinya, melaksanakan pendidikan anak dengan pendidikan Islam, menta’ati hukum-hukum Allah SWT, memurnikan tauhid kepada-Nya dan menjauhi serta memerangi berbagai bentuk kemusyrikan.
keluarga muslim adalah keluarga yang meletakkan segala aktivitas pembentukan keluarganya sesuai dengan syari’at Islam yang berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah. Keluarga tersebut dibangun di atas aqidah yang benar dan semangat untuk beribadah kepada Allah serta semangat untuk menghidupkan syiar dan adab-adab Islam Islam sebagaimana telah dicontohkan Rasulullah SAW. Menurut Hammudah Abdul Al-Ati dalam bukunya “The Family Structure in Islam” definisi keluarga dilihat secara operasional adalah: “Suatu struktur yang bersifat khusus yang satu sama lain mempunyai ikatan khusus, baik lewat hubungan darah atau pernikahan. Perikatan itu membawa pengaruh pada adanya rasa “saling berharap” (mutual expectation) yang sesuai dengan ajaran agama, dikukuhkan dengan kekuatan hukum serta secara individual saling mempunyai ikatan batin”.
Bentuk keluarga yang paling sederhana adalah keluarga inti yang terdiri atas suami istri dan anak-anak yang biasanya hidup bersama dalam suatu tempat tinggal. Namun demikian menurut Abdul Al ‘Ati pengertian keluarga tidaklah dibatasi oleh kerangka tempat tinggal. Sebab anggota sebuah keluarga tidaklah selalu menempati tempat tinggal yang sama. Adanya rasa saling harap sebagai unsur dalam perikatan keluarga itu lebih penting dari unsur tempat tinggal.
Ikatan keluarga yang dibentuk oleh seorang muslim dan muslimah merupakan ikatan yang penuh dengan keberkahan, yang dengannya keduanya saling menghalalkan satu dengan lainnya. Dengannya pula keduanya memulai sebuah rihlah thawilah (perjalanan panjang), dalam suasana saling mencintai, menyayangi dan menghargai. Dengan ikatan ini lahirlah rasa tentram dan ketenangan serta kebahagiaan hidup dalam suasana saling memahami, tolong-menolong dan nasihat-menasehati. Dari sinilah terbentuk sebuah keluarga muslim yang merupakan labinah (batu bata) yang kokoh bagi terbentuknya masyarakat muslim.
Mayoritas manusia tentu mendambakan kebahagiaan, menanti ketentraman dan ketanangan jiwa. Tentu pula semua menghindari dari berbagai pemicu gundah gulana dan kegelisahan. Terlebih dalam lingkngan keluarga. Ingatlah semua ini tak akan terwujud kecuali dengan iman kepada Allah, tawakal dan mengembalikan semua masalah kepadaNya, disamping melakukan berbagai usaha yang sesuai dengan syari'at.
Pentingnya Keharmonisan Keluarga Yang paling berpengaruh buat pribadi dan masyarakat adalah pembentukan keluarga dan komitmennya pada kebenaran. Allah dengan hikmahNya telah mempersiapkan tempat yang mulia buat manusia untuk menetap dan tinggal dengan tentram di dalamnya. FirmanNya: "dan diantara tanda-tanda kekuasanNya adalah Dia mencipatakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan diajadikanNya diantara kamu rasa kasih sayang. Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir." (Ar Ruum [30]: 21)
Ya.supaya engkau cenderung dan merasa tentram kepadanya (Allah tidak mengatakan: 'supaya kamu tinggal bersamanya'). Ini menegaskan makna tenang dalam perangai dan jiwa serta menekankan wujudnya kedamaian dalam berbagai bentuknya.
Maka suami istri akan mendapatkan ketenangan pada pasangannya di kala datang kegelisahan dan mendapati kelapangan di saat dihampiri kesempitan. Sesungguhnya pilar hubungan suami istri adalah kekerabatan dan pershabatan yang terpancang di atas cinta dan kasih sayang. Hubungan yang mendalam dan lekat ini mirip dengan hubungan seseorang dengan dirinya sendiri. Al Qur'an menjelaskan: "Mereka itu pakaian bagimu dan kamu pun pakaian baginya." (Al Baqarah [2]: 187)
Terlebih lagi ketika mengingat apa yang dipersiapkan bagi hubungan ini misalnya; penddidikan anak dan jaminan kehidupan, yang tentu saja tak akan terbentuk kecuali dalam atmosfir keibuan yang lembut dan kebapakan yang semangat dan serius. Adakah di sana komunitas yang lebih bersih dari suasana hubungan yang mulia ini?
Pilar Peyangga Keluarga Islami
1. Iman dan Taqwa
Hadits tersebut di atas dengan gamblang menjelaskan bahwa peran keluarga sangat besar dalam menanamkan nilai-nilai pada anggotanya. Keluargalah lingkungan pertama yang akan membentuk watak seseorang. Bahkan dengan tegas al-Qur’anul Karim mengingatkan setiap pemimpin di dalam keluarga untuk menjaga diri mereka dan keluarganya dari siksa api neraka. Allah berfirman: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa ang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS. 66:6)
Berkaitan dengan ayat yang berbunyi “Peliharalah diri dan keluargamu dari api neraka” berkata Mujahid: “Bertakwalah kepada Allah dan berilah nasihat kepada keluargamu untuk bertakwa kepada Allah”. Berkata Qotadah:”Perintahkanlah keluargamu untuk menta’ati Allah SWT dan cegahlah mereka dari berbuat kemaksyiatan dan hendaklah engkau mendidik mereka dengan perintah Allah serta menyuruh dan membantu mereka untuk melaksanakannya. Jika kamu melihat mereka melakukan kemaksyiatan maka tahan dan cegahlah”. Berkata Ad-Dhohak dan Muqotil menjelaskan ayat yang sama:”Kewajiban atas setiap muslim adalah mendidik keluarganya dengan apa-apa yang diwajibkan oleh Allah SWT kepada mereka dan apa-apa yang dilarang Allah SWT atas mereka”.
Besarnya ihtimam (perhatian) Islam terhadap kehidupan keluarga menunjukkan pentingnya posisi dan peran keluarga. Islam menghendaki nilai-nilai Islam dapat ditegakkan dalam seluruh aspek kehidupan termasuk dalam kehidupan keluarga. Setiap muslim yang hendak membentuk sebuah rumah tangga hendaknya memahami dengan benar tujuan sesungguhnya untuk apa keluarga dibentuk. Ia juga harus mengetahui bagaimana proses pembentukan keluarga dilakukan, termasuk bagaimana memilih pasangan hidup yang akan menemaninya mengarungi kehidupan berkeluarga.
Keluarga muslim
Lalu apa yang dimaksud dengan keluarga muslim? Syaikh Shaleh bin Fauzan al-Fauzan merinci definisi keluarga muslim sebagai keluarga yang mengetahui hak-hak Allah SWT dan menunaikannya, mengetahui hak-hak masing-masing suami istri dan memenuhinya, melaksanakan pendidikan anak dengan pendidikan Islam, menta’ati hukum-hukum Allah SWT, memurnikan tauhid kepada-Nya dan menjauhi serta memerangi berbagai bentuk kemusyrikan.
keluarga muslim adalah keluarga yang meletakkan segala aktivitas pembentukan keluarganya sesuai dengan syari’at Islam yang berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah. Keluarga tersebut dibangun di atas aqidah yang benar dan semangat untuk beribadah kepada Allah serta semangat untuk menghidupkan syiar dan adab-adab Islam Islam sebagaimana telah dicontohkan Rasulullah SAW. Menurut Hammudah Abdul Al-Ati dalam bukunya “The Family Structure in Islam” definisi keluarga dilihat secara operasional adalah: “Suatu struktur yang bersifat khusus yang satu sama lain mempunyai ikatan khusus, baik lewat hubungan darah atau pernikahan. Perikatan itu membawa pengaruh pada adanya rasa “saling berharap” (mutual expectation) yang sesuai dengan ajaran agama, dikukuhkan dengan kekuatan hukum serta secara individual saling mempunyai ikatan batin”.
Bentuk keluarga yang paling sederhana adalah keluarga inti yang terdiri atas suami istri dan anak-anak yang biasanya hidup bersama dalam suatu tempat tinggal. Namun demikian menurut Abdul Al ‘Ati pengertian keluarga tidaklah dibatasi oleh kerangka tempat tinggal. Sebab anggota sebuah keluarga tidaklah selalu menempati tempat tinggal yang sama. Adanya rasa saling harap sebagai unsur dalam perikatan keluarga itu lebih penting dari unsur tempat tinggal.
Ikatan keluarga yang dibentuk oleh seorang muslim dan muslimah merupakan ikatan yang penuh dengan keberkahan, yang dengannya keduanya saling menghalalkan satu dengan lainnya. Dengannya pula keduanya memulai sebuah rihlah thawilah (perjalanan panjang), dalam suasana saling mencintai, menyayangi dan menghargai. Dengan ikatan ini lahirlah rasa tentram dan ketenangan serta kebahagiaan hidup dalam suasana saling memahami, tolong-menolong dan nasihat-menasehati. Dari sinilah terbentuk sebuah keluarga muslim yang merupakan labinah (batu bata) yang kokoh bagi terbentuknya masyarakat muslim.
Mayoritas manusia tentu mendambakan kebahagiaan, menanti ketentraman dan ketanangan jiwa. Tentu pula semua menghindari dari berbagai pemicu gundah gulana dan kegelisahan. Terlebih dalam lingkngan keluarga. Ingatlah semua ini tak akan terwujud kecuali dengan iman kepada Allah, tawakal dan mengembalikan semua masalah kepadaNya, disamping melakukan berbagai usaha yang sesuai dengan syari'at.
Pentingnya Keharmonisan Keluarga Yang paling berpengaruh buat pribadi dan masyarakat adalah pembentukan keluarga dan komitmennya pada kebenaran. Allah dengan hikmahNya telah mempersiapkan tempat yang mulia buat manusia untuk menetap dan tinggal dengan tentram di dalamnya. FirmanNya: "dan diantara tanda-tanda kekuasanNya adalah Dia mencipatakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan diajadikanNya diantara kamu rasa kasih sayang. Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir." (Ar Ruum [30]: 21)
Ya.supaya engkau cenderung dan merasa tentram kepadanya (Allah tidak mengatakan: 'supaya kamu tinggal bersamanya'). Ini menegaskan makna tenang dalam perangai dan jiwa serta menekankan wujudnya kedamaian dalam berbagai bentuknya.
Maka suami istri akan mendapatkan ketenangan pada pasangannya di kala datang kegelisahan dan mendapati kelapangan di saat dihampiri kesempitan. Sesungguhnya pilar hubungan suami istri adalah kekerabatan dan pershabatan yang terpancang di atas cinta dan kasih sayang. Hubungan yang mendalam dan lekat ini mirip dengan hubungan seseorang dengan dirinya sendiri. Al Qur'an menjelaskan: "Mereka itu pakaian bagimu dan kamu pun pakaian baginya." (Al Baqarah [2]: 187)
Terlebih lagi ketika mengingat apa yang dipersiapkan bagi hubungan ini misalnya; penddidikan anak dan jaminan kehidupan, yang tentu saja tak akan terbentuk kecuali dalam atmosfir keibuan yang lembut dan kebapakan yang semangat dan serius. Adakah di sana komunitas yang lebih bersih dari suasana hubungan yang mulia ini?
Pilar Peyangga Keluarga Islami
1. Iman dan Taqwa
Faktor pertama dan terpenting adalah iman kepada Allah dan hari akhir, takut kepada Dzat Yang memperhatikan segala yang tersembunyi serta senantiasa bertaqwa dan bermuraqabbah (merasa diawasi oleh Allah) lalu menjauh dari kedhaliman dan kekeliruan di dalam mencari kebenaran.
"Demikian diberi pengajaran dengan itu, orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia kan mengadakan baginya jalan keluar. Dan Dia kan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya." (Ath Thalaaq [65]: 2-3)
Di antara yang menguatkan tali iman yaitu bersungguh-sungguh dan serius dalam ibadah serta saling ingat-mengingatkan. Perhatikan sabda Rasululloh: "Semoga Allah merahmati suami yang bangun malam hari lalu shalat dan membangunkan pula istrinya lalu shalat pula. Jika enggan maka dipercikkannya air ke wajahnya. Dan semoga Allah merahmati istri yang bangun malam hari lalu shalat dan membangunkan pula suaminya lalu shalat pula. Jika enggan maka dipercikkannya air ke wajahnya." (HR. Ahmad, Abu Dawud, An Nasa'i, Ibnu Majah).
Hubungan suami istri bukanlah hubungan duniawi atau nafsu hewani namun berupa interaksi jiwa yang luhur. Jadi ketika hubungan itu shahih maka dapat berlanjut ke kehidupan akhirat kelak. FirmanNya: "Yaitu surga 'Adn yang mereka itu masuk di dalamnya bersama-sama orang yang shaleh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya dan anak cucunya." (Ar Ra'd [13]: 23)
2. Hubungan Yang Baik
Termasuk yang mengokohkan hal ini adalah pergaulan yang baik. Ini tidak akan tercipt akecuali jika keduanya saling mengetahui hak dan kewajibannya masing-masing.
Mencari kesempurnaan dalam keluarga dan anggotanya adalah hal mustahil dan merasa frustasi daklam usha melakukan penyempurnan setiap sifat mereka atau yang lainnya termasuk sia-sia juga.
3. Tugas Suami
Seorang suami dituntut untuk lebih bisa bersabar ketimbang istrinya, dimana istri itu lemah secara fisik atau pribadinya. Jika ia dituntut untuk melakukan segala sesuatu maka ia akan buntu.
Teralalu berlebih dalam meluruskannya berarti membengkokkannya dan membengkokkannya berarti menceraikannya. Rasululloh bersabda: "Nasehatilah wanita dengan baik. Sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk dan bagian yang bengkok dari rusuk adalah bagian atasnya. Seandainya kamu luruskan maka berarti akan mematahkannya. Dan seandainya kamu biarkan maka akan terus saja bengkok, untuk itu nasehatilah dengan baik." (HR. Bukhari, Muslim)
Jadi kelemahan wanita sudah ada sejak diciptakan, jadi bersabarlah untuk menghadapinya. Seorang suami seyogyanya tidak terus-menerus mengingat apa yang menjadi bahan kesempitan keluarganya, alihkan pada beberapa sisi kekurangan mereka. Dan perhatikan sisi kebaikan niscaya akan banyak sekali.
Dalam hal ini maka berperilakulah lemah lembut. Sebab jika ia sudah melihat sebagian yang dibencinya maka tidak tahu lagi dimana sumber-sumber kebahagiaan itu berada. Allah berfirman; "Dan bergaullah bersama mereka dengan patut. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka maka bersabarlah Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikannya kebaikan yang banyak." (An Nisa' [4]: 19)
Apabila tidak begitu lalu bagaimana mungkin akan tercipta ketentraman, kedamaian dan cinta kasih itu: jika pemimpin keluarga itu sendiri berperangai keras, jelek pergaulannya, sempit wawasannya, dungu, terburu-buru, tidak pemaaf, pemarah, jika masuk terlalu banyak mengungkit-ungkit kebaikan dan jika keluar selalu berburuk sangka.
Padahal sudah dimaklumi bahwa interaksi yang baik dan sumber kebahagiaan itu tidaklah tercipta kecuali dengan kelembutan dan menjauhakan diri dari prasangka yang tak beralasan. Dan kecemburuan terkadang berubah menjadi prasangka buruk yang menggiringnya untuk senantiasa menyalah tafsirkan omongan dan meragukan segala tingkah laku. Ini tentu akan membikin hidup terasa sempit dan gelisah dengan tanpa alasan yang jelas dan benar.
4. Tugas Istri
Kebahagiaan, cinta dan kasih sayang tidaklah sempurna kecuali ketika istri mengetahui kewajiban dan tiada melalaikannya. Berbakti kepada suami sebagai pemimpin, pelindung, penjaga dan pemberi nafkah. Taat kepadanya, menjaga dirinya sebagi istri dan harta suami. Demikian pula menguasai tugas istri dan mengerjakannya serta memperhatikan diri dan rumahnya.
Inilah istri shalihah sekaligus ibu yang penuh kasih sayang, pemimpin di rumah suaminya dan bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Juga mengakui kecakapan suami dan tiada mengingkari kebaikannya. Untuk itu seyogyanya memaafkan kekeliruan dan mangabaikan kekhilafan. Jangan berperilaku jelek ketika suami hadir dan jangan mengkhianati ketika ia pergi.
Dengan ini sudah barang tentu akan tercapai saling meridhai, akan langgeng hubungan, mesra, cinta dan kasih sayang. Dalam hadits: "Perempuan mana yang meninggal dan suaminya ridha kepadanya maka ia masuk surga." (HR. Tirmidzi, Hakim, Ibnu Majah)
Maka bertaqwalah wahai kaum muslimin! Ketahuilah bahwa dengan dicapainya keharmonisan akan tersebarlah semerbak kebahagiaan dan tercipta suasana yang kondusif bagi tarbiyah.
Selain itu tumbuh pula kehidupan di rumah yang mulia dengan dipenuhi cinta kasih dan saling pengertian anatar sifat keibuan yang penuh kasih sayang dan kebapakan yang tegas, jauh dari cekcok, perselisihan dan saling mendhalimi satu sama lain. Juga tak ada permusuhan dan saling menyakiti.
Model keluarga muslim
1. Didirikan di atas landasan Ibadah kepada Allah SWT
Keluarga muslim harus didirikan dalam rangka menegakkan Ibadah kepada Allah SWT. Maksudnya seluruh proses yang dijalani mulai dari niat membentuk keluarga, proses memilih pasangan, pelaksanaan aqad nikah dan walimah serta seluruh interaksi yang terjadi setelahnya, hendaknya dibingkai dengan tujuan untuk beribadah kepada Allah dan untuk mengharapkan ridho-Nya. Haruslah dihindari semua bentuk penyimpangan dan perbuatan yang melanggar dan bertentangan dengan syariat Allah SWT dan petunjuk Rasulullah SAW. Dengan demikian berumahtangga bagi seorang mukmin ialah untuk melaksanakan perhambaan kepada Allah, bukan sebaliknya menghalanginya dari tugas utama tersebut.
2. Terjadi penerapan Islam secara kaafah serta tegaknya nilai-nilai Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah dalam segala urusan rumah tangga
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa keluarga muslim adalah keluarga yang berpegang teguh pada syariat dan adab-adab Islam. Untuk itu setiap anggota keluarga dituntut menerapkan nilai-nilai Islam dalam seluruh perilakunya termasuk dalam hubungan antara suami dengan isteri, hubungan antara orangtua dengan anak maupun hubungan anggota keluarga dengan kerabat dan masyarakatnya. Firman Allah SWT: Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata bagimu. (QS. 2:208) Ibnu Katsir di dalam tafsirnya menjelaskan tentang makna ayat ini, beliau mengatakan: “Masuklah ke dalam syariat agama Muhammad SAW dan jangan sedikitpun meninggalkannya”.(Tafsir Ibnu Katsir: 1/249)
3. Diterapkannya suasana amar ma’ruf nahi munkar dan nasihat menasehati
Berdasarkan penjelasan firman Allah SWT yang artinya: “Peliharalah diri dan keluargamu dari api neraka” sebagaimana disebut di atas, jelaslah bahwa keluarga muslim merupakan keluarga yang di dalamnya berhimpun individu-individu yang berkumpul karena Allah SWT, saling mengajak kepada keta’atan dan ketakwaan kepada-Nya, saling menyuruh kepada yang baik dan mencegah dari kemungkaran. Tidak hanya sebatas itu, aktivitas amar ma’ruf nahi mungkar yang diterapkan di dalam keluarga selanjutnya diperluas dan diterapkan kepada tetangga serta masyarakat sekitarnya. Hal ini dilaksanakan sebagai wujud tanggungjawab menebar kebaikan dan menyebarkan nilai-nilai Islam di tengah-tengah masyarakat.
4. Terwujudnya suasana kasih sayang di dalam keluarga
Di dalam surah ar-Rum ayat 21, Allah SWT telah berfirman:“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri daripada jenismu supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa mawaddah dan rahmat. Sesungguhnya pada yang demikian benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. “(QS.Ar-Rum:21) Al-Qurtubi telah menulis komentar lbnu Abbas mengenai “mawaddah” yang dijelaskan sebagai “cinta kasih seorang suami kepada isterinya” dan “rahmah” maksudnya adalah “kasih sayang agar isterinya jangan sampai menderita atau mengalami kesusahan”. Di sini dapat disimpulkan bahawa pembentukan keluarga muslim itu diasaskan di atas ‘mawaddah’ dan ‘rahmah’. Suasana rumahtangga yang dibina di atas dasar cinta dan kasih sayang yang suci ini akan mententeramkan dan memberi ketenangan kepada jiwa. Dalam hal ini tiada contoh yang lebih baik dan tepat daripada rumah tangga Rasuluillah SAW yang dibina bersama dengan Ummul Mu’minin Khadijah dan Ummahatul Mu’minin lainnya.5. Pergaulan di dalam keluarga didasari asas Al-Muasarah bil Maaruf
Pembinaan rumahtangga hendaklah juga diasaskan di atas dasar Al-Muasarah bil Maaruf. Apa yang dimaksudkan dengan Al-Muassarah bil Maaruf ialah: Pergaulan dan hidup bersama secara baik dan diridhai Allah. Tidak dikatakan sesuatu itu ma’ruf melainkan ia baik dan diridhai Allah serta jauh pula dari kemungkaran, kemaksiatan, penganiayaan, kezaliman dan sebagainya. Karena itu pergaulan suami isteri hendaklah didasarkan atas tujuan meraih keridhaan Allah serta semata-mata mengharapkan balasan dari-Nya. Manakala pendidikan dan bimbingan kepada isteri dan keluarga ke arah keridhaan Allah menjadi dasar tindakan seseorang suami maka akan terwujudlah keluarga muslim yang diberkahi Allah SWT. Rasulullah s.a.w. bersabda: “Sebaik-baik kamu adalah yang paling baik kepada keluarganya dan aku adalah orang yang paling baik terhadap keluargaku” (HR. Turmudzi)
Allah berfirman dari Surah An Nisaa: “Dan bergaullah kamu dengan mereka (isteri-isteri kamu itu) dengan cara yang baik”. (QS. 4:19)
Perlu diingat, bahwa bersikap baik dan lemah lembut bukan berarti kita membiarkan isteri dan keluarga melakukan kemungkaran dan bergelimang dengan dosa dan maksiat, kerena kalau ini yang terjadi berarti kita telah bersikap lalai terhadap tanggungjawab kita terhadap keluarga.
6. Terlaksananya pendidikan Islam
Salah satu ciri penting yang membedakan keluarga muslim dengan bukan keluarga muslim ialah pelaksanaan pendidikan Islam yang benar di dalamnya. Setiap muslim dituntut supaya memberi perhatian serius mengenai perkara itu. Anggota keluarga yang tidak mendapat pendidikan Islam atau yang lebih parah lagi jika pendidikan mereka terus terabaikan, mereka bukan saja tidak mampu menyambung perjuangan Islam tetapi mungkin menjadi penghalang perjuangan itu.
7. Adanya Keteladanan
Keteladanan sangat diperlukan dalam proses penanaman nilai-nilai Islam di dalam keluarga. Dengan keteladanan kebaikan akan cepat diikuti dan memberikan pengaruh yang kuat bagi anggota keluarga. Seorang anak akan terbiasa melaksanakan adab-adab Islam manakala ia melihat dan mendapati kedua orangtuanya melazimkan dan memberikan contoh adab-adab tersebut dilakukan sejak ia kecil. Ketaladanan orangtua akan memberikan suasana kondusif dan menjadi lahan subur bagi proses pendidikan anak.
Keluarga sakinah
Hubungan suami istri yang sangat solid dan fungsinya sebagai orang tua di tambah anak-anaknya yang tumbuh dalam asuhan mereka, merupakan gambaran umat terkini dan masadepan. Karena itu ketika setan berhasil menceraikan hubungan keluarga dia tidak sekadar menggoncangkan sebuah keluarga namun juga menjerumuskan masyarakat seluruhnya ke dalam kebobrokan yang merajalela. Realita sekarang menjadi bukti.
Semoga Allah merahmati pria yang perilakunya terpuji, baik hatinya, pandai bergaul (terhadap keluarga), lemah lembut, pengasih, penyayang, tekun, tidak berlebihan dan tiada lalai dengan kewajibannya. Semoga Allah merahmati pula wanita yang tidak mencari-cari kekeliruan, tidak cerewet, shalihah, taat dan memelihara dirinya ketika suaminya tidak ada karena Allah telah memeliharanya.
Bertaqwalah wahai kaum muslimin, wahai suami istri. Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya akan dimudahkan urusannya.
Seperti apakah bentuk keluarga kita? Maklum, ada yang mengatakan rumahku surgaku. Tapi, tak sedikit mengatakan rumah gue kayak neraka. Atau, hambar saja. Tak ada rasa bahwa kita punya keluarga.
Apa pun bentuk keluarga kita itu adalah hasil dari perpaduan tiga faktor pembentuknya. Ketiga faktor itu adalah paradigma yang kita miliki tentang keluarga, kompetensi seluruh anggota keluarga kita dalam membangun keluarga, dan macam apa aktivitas yang ada dalam keluarga kita.
Kalau dalam paradigma kita bahwa keluarga bahagia adalah yang bergelimangan harta, maka motivasi kita dalam berkeluarga adalah mengkapitasisasi kekayaan. Maka, kita akan mencari istri atau suami anak tunggal dari calon mertua yang kaya. Pusat perhatian kita dalam berkeluarga adalah menambah kekayaan.
Bagi paradigma berkeluarga seorang muslim berasal dari motivasi bahwa berkeluarga adalah untuk beribadah kepada Allah, menjaga kesucian diri, dan merealisasikan amal bahwa berkeluarga adalah bagian dari sebuah gerakan menegakkan hukum-hukum Allah di muka bumi. Sehingga, pusat perhatiannya dalam berkeluarga adalah meningkatkan kualitas ruhiyah, fikriyah, nafsiyah (emosi kejiwaan), jasadiyah, dan sosialisasi setiap anggota keluarganya.
Karena itu, membangun keluarga sakinah mawadah wa rahmah (samara) adalah sasaran yang ingin dicapai seorang muslim dalam membentuk berkeluarga. Dalam keluarga yang samara itulah kita akan melahirkan pribadi islami untuk saat ini dan masa depan.
Jadi, sangat penting bagi seorang muslim membangun kompetensi untuk membangun keluarga. Apa itu kompetensi berkeluarga? Kompetensi berumah tangga adalah segala pengetahuan, keterampilan, dan sikap dasar yang harus dimiliki agar seseorang dapat berhasil membangun rumah tangga yang kokoh yang menjadi basis penegakkan nilai-nilai Islam di masyarakat. Maka tak heran jika Rasulullah saw. menyuruh kita untuk pandai-pandai memilih pasangan hidup. Jangan asal pilih.
Abi Hurairah r.a. berkata, bahwa Rasulullah saw. telah bersabda, “Seorang wanita dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Berbahagialah orang yang menikahi wanita karena agamanya, dan merugilah orang yang menikahi wanita hanya karena harta, kecantikan, dan keturunannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Abdillah bin Amrin r.a. berkata, bahwa Rasulullah saw. telah bersabda, “Janganlah kamu menikahi wanita hanya karena kecantikannya, sebab kecantikan itu pada saatnya akan hilang. Janganlah kamu menikahi wanita hanya karena hartanya, sebab harta boleh jadi membuatnya congkak. Tetapi nikahilah wanita karena agamanya. Sebab seorang wanita budak yang jelek lagi hitam kelam yang memiliki agama (kuat dalam beragama) adalah lebih baik daripada wanita merdeka yang cantik lagi kaya, tetapi tidak beragama.” (HR. Ibnu Majah).
Ibnu Abbas r.a. berkata, bahwa Nabi saw. telah bersabda, “Empat perkara, barangsiapa memilikinya berarti dia mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat: hati yang selalu bersyukur, lisan yang selalu berdzikir, badan yang sabar dikala mendapat musibah, dan istri yang dapat menjaga kehormatan diri serta dapat menjaga harta suami.” (HR. Thabrani dalam kitab Al-Kabir dan Al-Ausath, sedang sanad dalam salah satu dan dua riwayat adalah bagus).
Keshalihan diri kita dan pasangan hidup kita adalah modal dasar membentuk keluarga samara. Seperti apakah keluarga samara? Yaitu keluarga dengan karakteristik sebagai berikut:
Hubungan suami istri yang sangat solid dan fungsinya sebagai orang tua di tambah anak-anaknya yang tumbuh dalam asuhan mereka, merupakan gambaran umat terkini dan masadepan. Karena itu ketika setan berhasil menceraikan hubungan keluarga dia tidak sekadar menggoncangkan sebuah keluarga namun juga menjerumuskan masyarakat seluruhnya ke dalam kebobrokan yang merajalela. Realita sekarang menjadi bukti.
Semoga Allah merahmati pria yang perilakunya terpuji, baik hatinya, pandai bergaul (terhadap keluarga), lemah lembut, pengasih, penyayang, tekun, tidak berlebihan dan tiada lalai dengan kewajibannya. Semoga Allah merahmati pula wanita yang tidak mencari-cari kekeliruan, tidak cerewet, shalihah, taat dan memelihara dirinya ketika suaminya tidak ada karena Allah telah memeliharanya.
Bertaqwalah wahai kaum muslimin, wahai suami istri. Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya akan dimudahkan urusannya.
Seperti apakah bentuk keluarga kita? Maklum, ada yang mengatakan rumahku surgaku. Tapi, tak sedikit mengatakan rumah gue kayak neraka. Atau, hambar saja. Tak ada rasa bahwa kita punya keluarga.
Apa pun bentuk keluarga kita itu adalah hasil dari perpaduan tiga faktor pembentuknya. Ketiga faktor itu adalah paradigma yang kita miliki tentang keluarga, kompetensi seluruh anggota keluarga kita dalam membangun keluarga, dan macam apa aktivitas yang ada dalam keluarga kita.
Kalau dalam paradigma kita bahwa keluarga bahagia adalah yang bergelimangan harta, maka motivasi kita dalam berkeluarga adalah mengkapitasisasi kekayaan. Maka, kita akan mencari istri atau suami anak tunggal dari calon mertua yang kaya. Pusat perhatian kita dalam berkeluarga adalah menambah kekayaan.
Bagi paradigma berkeluarga seorang muslim berasal dari motivasi bahwa berkeluarga adalah untuk beribadah kepada Allah, menjaga kesucian diri, dan merealisasikan amal bahwa berkeluarga adalah bagian dari sebuah gerakan menegakkan hukum-hukum Allah di muka bumi. Sehingga, pusat perhatiannya dalam berkeluarga adalah meningkatkan kualitas ruhiyah, fikriyah, nafsiyah (emosi kejiwaan), jasadiyah, dan sosialisasi setiap anggota keluarganya.
Karena itu, membangun keluarga sakinah mawadah wa rahmah (samara) adalah sasaran yang ingin dicapai seorang muslim dalam membentuk berkeluarga. Dalam keluarga yang samara itulah kita akan melahirkan pribadi islami untuk saat ini dan masa depan.
Jadi, sangat penting bagi seorang muslim membangun kompetensi untuk membangun keluarga. Apa itu kompetensi berkeluarga? Kompetensi berumah tangga adalah segala pengetahuan, keterampilan, dan sikap dasar yang harus dimiliki agar seseorang dapat berhasil membangun rumah tangga yang kokoh yang menjadi basis penegakkan nilai-nilai Islam di masyarakat. Maka tak heran jika Rasulullah saw. menyuruh kita untuk pandai-pandai memilih pasangan hidup. Jangan asal pilih.
Abi Hurairah r.a. berkata, bahwa Rasulullah saw. telah bersabda, “Seorang wanita dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Berbahagialah orang yang menikahi wanita karena agamanya, dan merugilah orang yang menikahi wanita hanya karena harta, kecantikan, dan keturunannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Abdillah bin Amrin r.a. berkata, bahwa Rasulullah saw. telah bersabda, “Janganlah kamu menikahi wanita hanya karena kecantikannya, sebab kecantikan itu pada saatnya akan hilang. Janganlah kamu menikahi wanita hanya karena hartanya, sebab harta boleh jadi membuatnya congkak. Tetapi nikahilah wanita karena agamanya. Sebab seorang wanita budak yang jelek lagi hitam kelam yang memiliki agama (kuat dalam beragama) adalah lebih baik daripada wanita merdeka yang cantik lagi kaya, tetapi tidak beragama.” (HR. Ibnu Majah).
Ibnu Abbas r.a. berkata, bahwa Nabi saw. telah bersabda, “Empat perkara, barangsiapa memilikinya berarti dia mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat: hati yang selalu bersyukur, lisan yang selalu berdzikir, badan yang sabar dikala mendapat musibah, dan istri yang dapat menjaga kehormatan diri serta dapat menjaga harta suami.” (HR. Thabrani dalam kitab Al-Kabir dan Al-Ausath, sedang sanad dalam salah satu dan dua riwayat adalah bagus).
Keshalihan diri kita dan pasangan hidup kita adalah modal dasar membentuk keluarga samara. Seperti apakah keluarga samara? Yaitu keluarga dengan karakteristik sebagai berikut:
- Keluarga yang dibangun oleh pasangan suami-istri yang shalih.
- Keluarga yang anggotanya punya kesadaran untuk menjaga prinsip dan norma Islam.
Keluarga yang mendorong seluruh anggotanya untuk mengikuti fikrah islami.
Keluarga yang anggota keluarganya terlibat dalam aktivitas ibadah dan dakwah, dalam bentuk dan skala apapun.
Keluarga yang menjaga adab-adab Islam dalam semua sisi kehidupan rumah tangga. - Keluarga yang anggotanya melaksanakan kewajiban dan hak masing-masing.
- Keluarga yang baik dalam melaksanakan tarbiyatul aulad (proses mendidik anak-anak).
- Keluarga yang baik dalam mentarbiyah khadimah (mendidik pembantu).
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. [QS. Ruum (30): 21]
Untuk apa Allah memberikan samara kepada pasangan suami-istri muslim? Sebagai modal untuk meraih kebahagiaan. Bukankah tujuan hidup kita sebagai seorang manusia adalah memperoleh kebahagian? Bagi seorang muslim, ada tiga level kebahagiaan yang ingin dicapai sesuai dengan QS. Al-Baqarah (2) ayat 201.
Dan di antara mereka ada orang yang berdoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka”
رَبَّنـــَا آتِــنَا فِي الدُّنْيــَا حَسَنَةً
وَ فِي اْلآخَرَةِ حَسَنَةً
وَ قِــنَا عَذَابَ الــنَّارِ
Itulah sebaik-baik doa seorang muslim. Kita bercita-cita meraih kebahagiaan di dunia. Ketika meninggalkan dunia, kita mendapat kebahagiaan di akhirat. Yang dimaksud dengan al-hasanah (kebaikan) di akhirat adalah surga. Tapi, ada orang yang langsung masuk surga dan ada orang yang dibersihkan dulu dosa-dosanya di neraka baru kemudian masuk surga. Nah, obsesi tertinggi kita adalah wa qinaa adzaaban nar, masuk surga dengan tanpa tersentuh api neraka terlebih dahulu. Sebab, inilah kesuksesan yang sebenarnya bagi diri seorang mukmin.
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. [QS. Ali Imran (3): 185]
Karena itu, doa rabbanaa atinaa fiiddunya hasanah… haruslah menjadi syiar yang selalu disenandungkan oleh setiap muslim sepanjang hidupnya di dunia. Ketika seorang muslim dan muslimah menikah, syiar ini bertransformasi menjadi: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim (66): 6)
Inilah tugas pokok seorang kepala keluarga: menjaga agar tidak satupun anggota keluarganya tersentuh api neraka. Untuk menunjukkan bahwa tugas ini sangat penting, Allah swt. memvisualisasikan bagaimana dahsyatnya neraka dan tidak nyamannya orang yang masuk ke dalamnya. Bahkan, orang yang masuk ke dalam neraka menjadi bahan bakar. Diperlakukan kasar dan keras. Padahal, kita tidak pernah ridha jika istri kita diganggu orang di jalan, kita marah jika anak kita dilukai orang, kita tidak mau anggota keluarga kita tidak nyaman akibat kepanasan atau kehujanan. Itulah bentuk rasa sayang kita kepada mereka. Seharusnya, bentuk kasih sayang itu juga menyangkut nasib mereka di akhirat kelak. Kita tidak ingin satu orang anggota keluarga kita tersentuh api neraka.
Tugas berat ini tentu tak mungkin ditanggung oleh seorang kepala keluarga sendiri tanpa ada keinginan yang sama dari setiap anggota keluarga. Artinya, akan lebih mudah jika seorang suami beristri seorang muslimah yang punya visi yang sama: sama-sama ingin masuk surga tanpa tersentuh api neraka. Inilah salah satu alasan bahwa kita tidak boleh asal dalam memilih pasangan hidup.
Karena itu, hubungan suami-istri, orang tua dan anak, adalah hubungan saling tolong menolong. Saling tolong menolong agar tidak tersentuh api neraka. “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [QS. At-Taubah (9): 71]
Tolong menolong. Itulah kata kunci pasangan samara dalam mengelola keluarga. Suami-istri itu akan berbagi peran dan tanggung jawab dalam mengelola keluarga mereka. Sungguh indah gambaran pasangan suami-istri yang seperti ini. Suaminya penuh rasa tanggung jawab, istrinya mampu menjaga diri dan menempatkan diri. “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shalihah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara mereka.” [QS. An-Nisa' (4): 34]
Pasangan suami-istri yang seperti itu sadar betul bahwa keluarga harus dikelola seperti sebuah organisasi. Bukankah keluarga adalah unit terkecil dalam susunan organisasi masyarakat? Bukankah keluarga miniatur sebuah negara? Jadi, kenapa banyak keluarga berjalan tanpa pengorganisasian yang memadai?
Jika kita yakin bahwa keluarga adalah sebuah lembaga, maka sebagai lembaga harus terorganisasi. Ada pemimpin ada yang dipimpin. Ikatan antara pemimpin dan yang dipimpin adalah ikatan kerjasama. Kerjasama haruslah punya tujuan yang terukur. Dan tujuan yang ingin dicapai haruslah diketahui bagaimana cara mencapainya. Itu artinya, cara pencapaiannya harus direncanakan. Setiap rencana baru bisa sukses jika diiringin kemauan yang kuat (azzam).
Dan salah satu rahasia keberhasilan realisasi sebuah rencana adalah ketika rencana itu dibuat dengan prinsip syura. Semakin tinggi tingkat partisipasi, maka akan semakin tinggi potensi keberhasilan tujuan itu dicapai. Inilah salah satu rahasia keberhasilan Rasulullah saw. mengelola para sahabat. Karena Rasulullah saw. selain berlemah-lembut, juga mengajak peran aktif mereka dalam bermusyawarah membuat rencana-rencana strategis (lihat QS. Ali Imran (3): 159].
Artinya, keluarga juga akan sukses mencapai tujuan-tujuannya jika menerapkan prinsip syura dalam perencanaannya. Bahkan, untuk urusan menyapih (ibu berhenti memberi ASI) pun harus disyurakan. Ini perintah Allah swt. Silakan lihat QS. Al-Baqarah (2) ayat 233.
Jadi, jika ingin tidak ada satu orang keluarga pun tersentuh api neraka, kita harus merencanakannya. Tetapkan ini sebagai visi keluarga kita. Lalu, breakdown agar menjadi sebuah langkah yang aplikatif. Jika kita perinci, kira-kira akan menjadi seperti ini.
Untuk apa Allah memberikan samara kepada pasangan suami-istri muslim? Sebagai modal untuk meraih kebahagiaan. Bukankah tujuan hidup kita sebagai seorang manusia adalah memperoleh kebahagian? Bagi seorang muslim, ada tiga level kebahagiaan yang ingin dicapai sesuai dengan QS. Al-Baqarah (2) ayat 201.
Dan di antara mereka ada orang yang berdoa, “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka”
رَبَّنـــَا آتِــنَا فِي الدُّنْيــَا حَسَنَةً
وَ فِي اْلآخَرَةِ حَسَنَةً
وَ قِــنَا عَذَابَ الــنَّارِ
Itulah sebaik-baik doa seorang muslim. Kita bercita-cita meraih kebahagiaan di dunia. Ketika meninggalkan dunia, kita mendapat kebahagiaan di akhirat. Yang dimaksud dengan al-hasanah (kebaikan) di akhirat adalah surga. Tapi, ada orang yang langsung masuk surga dan ada orang yang dibersihkan dulu dosa-dosanya di neraka baru kemudian masuk surga. Nah, obsesi tertinggi kita adalah wa qinaa adzaaban nar, masuk surga dengan tanpa tersentuh api neraka terlebih dahulu. Sebab, inilah kesuksesan yang sebenarnya bagi diri seorang mukmin.
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. [QS. Ali Imran (3): 185]
Karena itu, doa rabbanaa atinaa fiiddunya hasanah… haruslah menjadi syiar yang selalu disenandungkan oleh setiap muslim sepanjang hidupnya di dunia. Ketika seorang muslim dan muslimah menikah, syiar ini bertransformasi menjadi: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim (66): 6)
Inilah tugas pokok seorang kepala keluarga: menjaga agar tidak satupun anggota keluarganya tersentuh api neraka. Untuk menunjukkan bahwa tugas ini sangat penting, Allah swt. memvisualisasikan bagaimana dahsyatnya neraka dan tidak nyamannya orang yang masuk ke dalamnya. Bahkan, orang yang masuk ke dalam neraka menjadi bahan bakar. Diperlakukan kasar dan keras. Padahal, kita tidak pernah ridha jika istri kita diganggu orang di jalan, kita marah jika anak kita dilukai orang, kita tidak mau anggota keluarga kita tidak nyaman akibat kepanasan atau kehujanan. Itulah bentuk rasa sayang kita kepada mereka. Seharusnya, bentuk kasih sayang itu juga menyangkut nasib mereka di akhirat kelak. Kita tidak ingin satu orang anggota keluarga kita tersentuh api neraka.
Tugas berat ini tentu tak mungkin ditanggung oleh seorang kepala keluarga sendiri tanpa ada keinginan yang sama dari setiap anggota keluarga. Artinya, akan lebih mudah jika seorang suami beristri seorang muslimah yang punya visi yang sama: sama-sama ingin masuk surga tanpa tersentuh api neraka. Inilah salah satu alasan bahwa kita tidak boleh asal dalam memilih pasangan hidup.
Karena itu, hubungan suami-istri, orang tua dan anak, adalah hubungan saling tolong menolong. Saling tolong menolong agar tidak tersentuh api neraka. “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [QS. At-Taubah (9): 71]
Tolong menolong. Itulah kata kunci pasangan samara dalam mengelola keluarga. Suami-istri itu akan berbagi peran dan tanggung jawab dalam mengelola keluarga mereka. Sungguh indah gambaran pasangan suami-istri yang seperti ini. Suaminya penuh rasa tanggung jawab, istrinya mampu menjaga diri dan menempatkan diri. “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shalihah ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara mereka.” [QS. An-Nisa' (4): 34]
Pasangan suami-istri yang seperti itu sadar betul bahwa keluarga harus dikelola seperti sebuah organisasi. Bukankah keluarga adalah unit terkecil dalam susunan organisasi masyarakat? Bukankah keluarga miniatur sebuah negara? Jadi, kenapa banyak keluarga berjalan tanpa pengorganisasian yang memadai?
Jika kita yakin bahwa keluarga adalah sebuah lembaga, maka sebagai lembaga harus terorganisasi. Ada pemimpin ada yang dipimpin. Ikatan antara pemimpin dan yang dipimpin adalah ikatan kerjasama. Kerjasama haruslah punya tujuan yang terukur. Dan tujuan yang ingin dicapai haruslah diketahui bagaimana cara mencapainya. Itu artinya, cara pencapaiannya harus direncanakan. Setiap rencana baru bisa sukses jika diiringin kemauan yang kuat (azzam).
Dan salah satu rahasia keberhasilan realisasi sebuah rencana adalah ketika rencana itu dibuat dengan prinsip syura. Semakin tinggi tingkat partisipasi, maka akan semakin tinggi potensi keberhasilan tujuan itu dicapai. Inilah salah satu rahasia keberhasilan Rasulullah saw. mengelola para sahabat. Karena Rasulullah saw. selain berlemah-lembut, juga mengajak peran aktif mereka dalam bermusyawarah membuat rencana-rencana strategis (lihat QS. Ali Imran (3): 159].
Artinya, keluarga juga akan sukses mencapai tujuan-tujuannya jika menerapkan prinsip syura dalam perencanaannya. Bahkan, untuk urusan menyapih (ibu berhenti memberi ASI) pun harus disyurakan. Ini perintah Allah swt. Silakan lihat QS. Al-Baqarah (2) ayat 233.
Jadi, jika ingin tidak ada satu orang keluarga pun tersentuh api neraka, kita harus merencanakannya. Tetapkan ini sebagai visi keluarga kita. Lalu, breakdown agar menjadi sebuah langkah yang aplikatif. Jika kita perinci, kira-kira akan menjadi seperti ini.
sumber: haroqi.multiply.com
0 komentar:
Posting Komentar