وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَ الْبَصَرَ وَ الْفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَـئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” (QS. Al-Israa’: 36).
Secara umum ayat diatas menerangkan tentang larangan berbicara tanpa dilandasi dengan ilmu. Namun bukan hanya berbicara, tapi juga mengikuti dan melakukan sesuatu yang belum jelas asalnya. Lebih mudah lagi yaitu ayat ini melarang bagi setiap muslim untuk asal berbuat, asal berbicara dan juga asal vonis. Karena setiap apa yang kita lakukan itu akan dimintai tanggung jawabnya.
Qatadah mengatakan dalam kitab Ibnu Katsir “janganlah kamu mengatakan ‘aku melihat’ padahal kamu tidak melihat. Atau ‘aku mendengar’ padahal kamu tidak mendengar. Atau ‘aku mengetahui’ padahal kamu tidak tahu.
Asy-Syaukani menjelaskan lebih lanjut bahwa ayat ini menerangkan haramnya beramal tanpa ilmu dan tanpa landasan. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa larangan ini juga berlaku pada orang yang suka ikut-ikutan atau memprioritaskan hasil analisis akalnya lebih dari Al-Qur’an dan Sunnah.
Sudah banyak kita melihat dan juga mendengar seseorang yang kadang berfatwa (mengemukakan suatu pendapat) tanpa dilandasi dengan ilmu. Mereka mengedepankan akal mereka untuk berfatwa tentang suatu hal sehingga orang awam sendiri banyak yang terpengaruh dengan apa yang mereka katakan karena sesuai dengan logika. Ada juga yang melakukan sesuatu “amalan” yang menurut mereka baik namun ketika ditanya apa dasar dari “amalan” yang selama ini dilakukan, mereka menjawab “ini warisan nenek moyang kami” atau “kami meniru apa yang dilakukan guru kami setiap hari”.
Dalam studi keislaman memang dikenalkan bahwa kita bisa berijtihad yaitu menggunakan analisis akal kita untuk memecahkan suatu masalah yang tidak disebutkan dalam Al-Quran dan As-sunnah. Namun dalam berijtihad ini tidak bisa dilakukan sembarang orang dan juga tidak bisa dilakukan secara asal-asalan. Sudah terlalu banyak kita jumpai dalam masyarakat kita seseorang yang berijtihad dan berfatwa namun sepenuhnya memperturutkan hawa nafsu yang akhirnya meninggalkan obyektifitas dalam menganalisis suatu masalah.
“Bahwasannya Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang berfatwa tanpa didasari ilmu, maka dosa bagi yang memberikan fatwa.” (HR. Abu Dawud).
Syaikh Abdul Muhsin Al-‘Ibad menjelaskan dalam syarh Abu Dawud bahwa barangsiapa yang berfatwa dengan jahil (tanpa didasari dengan ilmu), maka yang berfatwa itu akan mendapat dosa. Dan barangsiapa yang mengerjakan apa yang difatwakan dan sangat jelas menyelisihi kebenaran, maka dosa bagi yang memberikan fatwa.
أَنَّ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه و سلم قَالَ : مَنْ أُفْتِيَ بِغَيْرِ عِلْمٍ, كَانَ إِثْمُهُ عَلَى مَنْ أَفْتَاهُ
“Bahwasannya Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang berfatwa tanpa didasari ilmu, maka dosa bagi yang memberikan fatwa.” (HR. Abu Dawud).
Syaikh Abdul Muhsin Al-‘Ibad menjelaskan dalam syarh Abu Dawud bahwa barangsiapa yang berfatwa dengan jahil (tanpa didasari dengan ilmu), maka yang berfatwa itu akan mendapat dosa. Dan barangsiapa yang mengerjakan apa yang difatwakan dan sangat jelas menyelisihi kebenaran, maka dosa bagi yang memberikan fatwa.
Kita ingat kembali beberapa tahun lalu ketika seorang mantan petinju membolehkan shalat dengan bacaan terjemahan dengan dalih tidak ada larangan dan tentu saja menjadi bahan tertawaan karena beliau tidak mengetahui sama sekali tentang perintah Rasulullah SAW untuk meniru tata cara beliau dalam mengerjakan shalat. Kasus ini juga sempat terjadi di Amerika Serikat ketika seorang muslimah berinisiatif untuk mengisi khutbah Jum’ah dan juga mengimami shalat dengan shaf yang bercampur baur antara laki-laki dengan perempuan. Dengan dalih emansipasi wanita berarti dia telah mengedepankan akal daripada Al-Quran dan As-sunnah. Bahkan saat ini sedang marak-maraknya pemikiran kaum liberal yang mencoba menghancurkan Al-Quran dan As-Sunnah dengan pemikiran mereka yang selalu mengedepankan akal.
Para ulama telah bersepakat bahwa seorang mujtahid (orang yang berijtihad) itu haruslah memiliki ilmu pengetahuan tentang dalil-dalil syari’at yang terdapat dalam Al-Quran dan As-Sunnah serta ijma’ sahabat dan juga cara berfikir logis yang telah terangkum dalam ilmu ushul fiqh. Tanpa hal tersebut, maka bisa dipastikan suatu fatwa itu akan menjadi hasil pemikiran yang miring dan asal-asalan. Rasulullah SAW pernah memberikan arahan khusus kepada Muadz bin Jabal RA ketika mengutusnya sebagai seorang hakim, sabda beliau: “Dengan apa kamu akan memutuskan hukum?” Muadz menjawab: “Dengan kitab Allah.” Lalu Rasulullah SAW bertanya kembali: “Kalau tidak ada (dalam Al-Qur’an)?” Muadz menjawab: “Maka (aku berhukum) dengan Sunnah Rasulullah.” Rasulullah SAW bertanya kembali: “Kalau tidak ada (dalam Sunnah Rasulullah)?” Muadz menjawab: “Aku akan berijtihad dengan pemikiranku.” Demikianlah seharusnya prosedur memutuskan sesuatu dalam masalah agama, dimulai dari Al-Qur’an, Sunnah baru diakhiri dengan Ijtihad.
Imam Malik Rahimahullah pernah ditanya puluhan pertanyaan tentang permasalahan agama dan hanya bisa terjawab 4 pertanyaan saja sementara sisanya dijawab dengan “Saya tidak tahu.” Ketika ditanya mengapa hanya menjawab “Saya tidak tahu” dan apa tidak malu dengan status mujtahid yang beliau sandang? Beliau menjawab bahwa malaikat saja tidak malu mengakui mereka tidak tahu ketika ditanya oleh Allah di hadapan Adam AS tentang nama benda-benda, lalu mengapa beliau harus malu? Sikap seperti inilah yang jarang kita jumpai di masyarakat kita. Seakan-akan kata-kata “Tidak tahu” adalah aib yang harus disembunyikan meskipun dengan cara bersikap sok tahu.
Pada potongan ayat berikutnya Allah SWT menjelaskan sebab terlarangnya berbicara dan beramal tanpa ilmu ini dengan menyatakan bahwa pendengaran, penglihatan dan hati akan dimintai tanggung jawabnya kelak di akhirat. Hal ini merupakan ancaman serius bagi orang-orang yang hanya asal bunyi, ikut-ikutan dan asal vonis tanpa dasar. Ancaman ini menjadi serius karena pertanggung jawaban ini hanya terjadi pada hari pembalasan di akherat kelak yang sudah sangat terlambat bagi siapa saja yang mau bertaubat.
Asy-Syaukani menjelaskan bahwa pemilik anggota tubuh ini akan ditanya bagaimana ia menggunakan anggota tubuhnya ini ketika masih hidup, sebab pendengaran, penglihatan dan hati hanyalah alat yang digerakkan oleh jiwa manusia, jika digunakan dalam hal yang baik dan berdasar, maka pahala akan didapatkan, dan sebaliknya, jika digunakan dalam kejelekan atau perbuatan yang tidak berdasar, maka siksa yang akan menantinya.
Allah SWT berfiman:
فَسْئَلُوْا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ. . . .
. . .“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43).
Maka sudah sepantasnya kita introspeksi diri kita, mungkin selama ini kita melakukan, mempercayai atau mengatakan sesuatu tentang agama yang kita sendiri belum jelas ilmu dan dasarnya. Na’udzubillahi min dzaalik.
Maka sudah sepantasnya kita introspeksi diri kita, mungkin selama ini kita melakukan, mempercayai atau mengatakan sesuatu tentang agama yang kita sendiri belum jelas ilmu dan dasarnya. Na’udzubillahi min dzaalik.
Source: armanrahman30.blogspot.com
0 komentar:
Posting Komentar